“Lihat dia! Aku merasa iba melihatnya,” ucap seorang ibu. Ia menunjuk seorang bocah laki-laki yang berdiri
di seberang trotoar itu. Dia mengenakan baju kumal berwarna hijau. Pada
pundaknya tertumpu sebuah karung beras yang berisi sedikit barang-barang bekas.
Ya.
Dia bernama Guntur. Dia yang selama ini merawatku. Walau hidup kekurangan, tak
membuatnya menelantarkanku. Tak seperti mereka. Orang-orang kaya yang
menganggap aku hanya sebuah barang yang tak berguna.
Aku
sadar. Aku hanya terbuat dari beberapa helai bulu angsa. Oleh karena itulah,
aku selalu menganggap bahwa para angsa adalah saudaraku. Karena jasa mereka-lah
aku tercipta.
***
“Pak, stok bulu angsa kita hampir
habis,” kata seorang pekerja kepada mandornya.
“Ya. Nanti saya telpon pak Hasan
agar dia mempercepat pengiriman bulu,” ucap sang mandor. “Sekarang pakai saja bahan yang masih tersisa,” imbuhnya.
“Baik,” jawab singkat si pekerja, lalu
ia pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Kawan,
disinilah awalku. Para pekerja membentukku beserta teman-temanku. Bulu-bulu
angsa dirangkai sedemikian rupa hingga terbentuklah aku. Aku sangat berterima
kasih kepada para pekerja itu, mereka dengan sabar mengaitkan bulu-bulu angsa
satu sama lain. Dan, inilah aku dengan bentuk yang sempurna.
“Pak, berapa pack yang akan kita
kirim ke Surabaya?” tanya seorang pekerja yang biasa bertugas mengantar pesanan.
“Untuk wilayah Surabaya sendiri
kita harus mengirim 380 pack,” jawab sang mandor. Lalu si pekerja itu pun mengambil barang
sejumlah pesanan untuk di antar ke daerah tujuan.
Disinilah
awal kesedihanku, kawan. Dipisahkan dengan teman-teman yang sudah ku anggap
seperti keluarga. Mereka dikirim ke Palembang, Surabaya, Semarang, dan beberapa
kota besar lainnya di Indonesia. Sementara aku sendiri dikirim ke Jakarta
bersama sebagian temanku. Mau tak mau, aku pun menurut. Walaupun dalam hati aku
berteriak meronta.
***
Setibanya
di Jakarta, ternyata aku dan teman-temanku dipilih untuk dijadikan cock saat
event Internasional kali ini. Betapa bangganya kami.
“Wah, berarti kita pilihan dong?” kata salah satu temanku kepada
kami.
“Yo’i bro. Kita gitu,” jawab temanku yang paling gaul tapi lebay.
“Ya. Kita patut bersyukur, karena
kesempatan seperti ini belum tentu datang dua kali dalam hidup kita,” tambahku.
Jiwa
nasionalismeku benar-benar terasa. Belum pernah aku merasakan hal seperti ini.
Fanatisme penonton yang datang untuk mendukung pebulutangkis Indonesia membuat
tempat ini terasa “angker” di mata para pebulutangkis dunia. Gemuruh teriakan “IN-DO-NE-SIA!” sebagai backsound menggema di
tempat pertandingan bulutangkis dengan atmosfer terdahsyat di dunia ini. Yup. Kawan, kini giliranku untuk terjun ke
lapangan menemani para atlit merah-putih.
“Doain aku ya, guys!” pintaku kepada teman-temanku.
“Pasti, be careful ya!” jawab teman-temanku.
“Siplah, thanks ya!” imbuhku.
Jantungku
berdebar-debar saat memasuki lapangan. Dalam hati kukatakan pada para atlit
merah-putih yang akan berjuang, bahwa kita pasti bisa. Kita pasti menang.
“Aduh. Salah satu buluku patah,” teriakku dalam hati, setelah
pertandingan baru saja berjalan 3 menit. “Wah, pasti aku akan diganti nih,” imbuhku.
Belum
selesai aku berbicara. Dan, benar apa yang ku katakan. Posisiku digantikan
dengan salah satu temanku.
“Ya, tak apa-lah. Ini sudah
resiko yang harus aku tanggung,” gumamku.
***
Kawan,
inilah pahitnya. Aku harus masuk ke dalam sebuah tempat yang menurutku jorok
dan kotor. Ya, tempat sampah. Mereka sudah tidak peduli lagi denganku. Setelah
salah satu buluku patah pada pertandingan tadi, mereka membuangku tanpa
perasaan.
Setelah
beberapa jam aku berada dalam tempat kotor ini, ada seorang pemulung laki-laki
kecil yang sedang mengorek-ngorek sampah untuk mencari barang-barang bekas yang
bisa dijual. Aku berharap dia menemukanku.
“Hei! ada cock,” ucapnya girang. Lalu dia
memungutku. “Hmm… masih bagus. Pasti ini cock yang dipakai pertndingan tadi,” ia berkata sambil membetulkan
buluku yang patah. Lalu dia membawaku pulang ke rumahnya.
Dalam
perjalanan pulang, dia banyak bercerita tentang kehidupannya kepadaku.
“Namaku Guntur, dan umurku 10
tahun. Aku tinggal bersama ayahku, tapi sekitar 7 bulan yang lalu ayahku sudah
sakit-sakitan dan tidak bisa berobat karena tidak ada uang, jadi aku yang
menggantikan pekerjaannya. Ibuku sudah lama meninggal, sejak aku kelas 1 SD.
Aku sekarang sudah tidak sekolah lagi, tapi sebenarnya aku ingin sekali
sekolah,” ucap Guntur penuh haru. Kulihat air mata menetes di pipinya yang
cabby. Dalam hati aku pun ikut menangis.
Rumah
ini tidak besar, mungkin hanya berukuran 3m x 4m. dindingnya terbuat dari bambu
yang sebagian telah rapuh. Lantainya hanya tanah dan atapnya dari genting yang
warnanya menghijau karena berlumut. Tempat tidurnya pun hanya beralas tikar.
Di
rumah kecil inilah aku selalu menemaninya. Kita selalu bersama. Kemana pun
Guntur pergi, aku selalu diajaknya.
Belakangan
ini aku tahu sesuatu. Ternyata dia mempunyai cita-cita menjadi atlit
bulutangkis. Tapi dia sendiri tidak yakin apakah cita-cita mulia itu akan ia
capai dengan kehidupannya sekarang ini.
Dia
mempunyai sebuah raket pemberian dari pamannya saat ia berusia 8 tahun. Tapi
sayang, senar raket itu telah putus. Guntur pun tak kehabisan akal, ia merakit
kembali senar itu pada raketnya lalu mengikatnya. Selama ini jika ia ingin
bermain buluangkis, maka ia harus mencari koran atau kertas bekas untuk
dibentuk bulat dan dijadikan pengganti cock. Sekarang, setelah Guntur
menemukanku, ia selalu mengajakku untuk bermain bulutangkis bersama.
Seminggu
setelah aku berada disini, ayah Guntur meninggal karena penyakit paru-paru yang
dideritanya. Walau Guntur terlihat tegar, sesekali air mata pun mengalir di
pipinya yang cabby. Bagaimanapun dia hanya seorang anak kecil yang baru berusia
10 tahun. Begitu banyak cobaan yang diaalami. Kawan, sungguh aku tak tega
melihatnya. Aku harap aku selalu bisa menghiburnya, melihat senyum dan tawanya.
Hari ini, setelah ayah Guntur dimakamkan, aku kembali melihat senyumnya. Tapi
aku tahu itu, kawan. Itu hanya sebuah senyum kehampaan yang ia paksakan.
Setelah
sang ayah meninggal, Guntur pun hidup sendiri. Hanya bersamaku. Tak ada
keluarga yang menemaninya. Entah mereka memang tidak tahu, atau sengaja tak mau
tahu.
Kawan,
pagi ini aku tak menemukan Guntur di sampingku. Walau aku sedih, tapi aku tetap
setia menunggu Guntur di rumah. Beberapa jam kemudian terdengar suara gaduh di
samping rumah. Aku penasaran, tapi aku tak dapat mencari tahu.
Setelah
suara gaduh tersebut menghilang sejenak, terdengar jelas isak tangis dan
teriakan warga. Aku semakin penasaran.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada diri sendiri.
Sesaat
kemudian terdengar deru mesin mobil. Dilanjutkan dengan suara robohnya suatu
bangunan. Aku terkejut. Aku baru sadar bahwa daerah ini adalah tanah milik
pemerintah kabupaten. Aku makin terkejut, kawan. Hal ini dikarenakan mobil yang
digunakan untuk merobohkan rumah-rumah warga itu sudah merobohkan bagian depan
rumah ini. Aku semakin ketakutan. Hanya dalam hitungan detik, aku bersama raket
kesayangan Guntur pun tergilas oleh mobil itu. Inilah akhirku, kawan.
“Tidaaaaaaaaaak,” teriak Guntur yang tiba tak
lama kemudian.
***
0 komentar:
Posting Komentar